Saya merupakan investor konservatif, jadi saya prediksi kinerja masa depan saham hanya dengan data real, bukan prediksi yang tidak bisa dipastikan di masa depan.
Tujuan saya melakukan prediksi adalah untuk menentukan margin pengaman, bukan untuk menentukan berapa uang yang berani saya “pertaruhkan” dengan estimasi pertumbuhan kinerja.
Jika di masa depan ada prediksi kinerja menurun, maka saya akan menurunkan investasi saya di saham tersebut. Jika ada prediksi meningkat, saya tetap gunakan data historis dan tidak meningkatkan alokasi investasi saya pada saham tersebut. Kecuali ketika prediksi sudah menjadi kenyataan.
Saya hanya melakukan prediksi dengan laporan keuangan triwulan terakhir. Itupun ada persyaratan yang harus dipenuhi.
Saya tidak melakukan prediksi kinerja masa depan terlalu jauh. Misalnya kinerja 5 tahun ke depan. Meksipun data historisnya tampak bisa diprediksi.
Manusia cenderung membuat prediksi setelah melihat suatu pola. Kita cenderung merasa bisa memprediksi suatu kejadian yang sudah terjadi. Namun masa depan adalah hal yang “gelap” dan sulit diprediksi dengan tepat.
Jika ada yang bisa, orang tersebut bisa menjadi orang terkaya di dunia dengan cepat.
Banyak perusahaan besar dan memiliki kinerja historis bagus yang tanpa disangka tiba-tiba kolaps karena faktor baik itu eksternal maupun internal.
Seperti emiten berikut yang dahulu saya masukkan ke emiten magic formula, saat ini saya keluarkan karena kinerja TW I 2022 mengalami penurunan dilihat dari pendapatan dan laba tahun berjalan. Saya juga turunkan margin pengamannya dengan menurunkan estimasi dividen berikutnya dengan rumus berikut:
Jika kinerja TW 2022 vs TW I 2021 meningkat. Saya tidak menggunakan rumus tersebut untuk prediksi dividen tahun berikutnya meningkat sehingga harga wajarnya meningkat.
Kenapa demikian?
Karena ketika kinerja menurun, maka hampir pasti dividen tahun berikutnya menurun.
Sedangkan jika kinerja meningkat, masih ada kemungkinan dividen turun atau stagnan karena Dividend Payout Ratio (DPR) diturunkan. Ada banyak emiten yang secara historis DPR stabil, namun satu waktu ketika kinerja naik tinggi ternyata dividennya hanya naik sedikit.
INDF dan SMDR adalah dua contoh yang bagus. INDF secara historis memiliki DPR stabil di 50%. Namun saat kinerja naik belakangan ini, dividennya justru stagnan karena DPR diturunkan. SMDR juga menurunkan DPR dari 40-50% menjadi hanya 12% di tahun buku 2021, membuat banyak investor kecewa.